Refleksiku : Apakah harus “nrimo” saja?

author

Hari ini saya bertemu dengan beberapa orang yang mengkonsumsi obat ARV (antiretroviral) jenis D4T atau yang sering dikenal dengan obat Stavudine, tidak hanya di Jakarta namun saya juga mendapatkan kontak dari seorang teman yang saya kenal di jejaring sosial yang berasal dari Afrika Selatan. Banyak teman – teman yang sadar bahwa mereka mengalami efek samping dari penggunaan d4T, bahkan obat ini tidak mentolerir terjadinya neuropati (semacam nyeri) dan perubahan bentuk tubuh pada ODHA. Akhirnya mereka yang mengalami efek samping ini akhirnya hanya bisa mengenang tubuhnya di masa lalu. Beberapa teman yang pernah menggunakan obat tersebut masih merasakan dampaknya hingga sekarang, mereka bilang “kata dokter sih kemungkinan kondisi ini seumur hidup”. Sebuah jawaban yang memprihatinkan.

Awalnya obat ini (d4T) diberikan kepada pasien yang mengalami penurunan drastis terkait Hb dari jenis ARV yang dia gunakan sebelumnya, namun ternyata yang terjadi mereka mengalami efek samping jangka panjang .

 

Sebagai orang terinfeksi HIV saya berpikir, sangatlah penting mencapai keberhasilan terapi pada Lini 1. Bagi saya yang saat ini dalam terapi Lini 2 menjalani pengobatan dalam lini 2 tidaklah mudah, karena di Indonesia tidak ada lagi pilihan lain setelah jika anda berada di posisi Lini 2. Pengobatan HIV butuh sebuah perhatian khusus, dari awal terapi seseorang harus siap untuk menjalani terapi seumur hidup, kemudian mereka akan dihadapkan dengan kepatuhan menelan obat setiap 12 jam, belum lagi penyesuaian obat dalam tubuh (termasuk efek samping), dan masih banyak lagi hingga terkadang kosongnya stock obat di Apotik Rumah Sakit. Pengobatan HIV sangatlah rumit namun kami sebagai manusia ingin mendapatkan kenyamanan saat menjalaninya.

 

Saat ini banyak teman yang saling mendukung terkait pengobatan baik melalui hubungan personal, jejaring sosial atau melalui KDS (Kelompok Dukungan Sebaya), mereka berusaha untuk mendorong terjadinya kondisi terbaik di dalam tubuh yang akhirnya seseorang dapat selama mungkin tetap bertahan di Lini 1.  Dengan berusaha untuk selama mungkin berada pada terapi Lini 1, maka peluang beralih ke Lini 2 semakin kecil. Karena seperti yang kita tahu bahwa pengobatan Lini 2 lebih mahal, pemantauan kesehatan lebih ketat, dan yang terpenting semakin kecil/tidak ada pilihan obat lain bila mengalami permasalahan pada masa pengobatan ini (mungkin karena kita hidup di negara berkembang J).  Saya yakin akan semakin sulit bagi ODHA miskin untuk menjangkau taraf hidup yang lebih baik saat menjalani terapi ini.

 

Selain dampak ekonomi terhadap individu, bayangkan pula berapa biaya yang akan ditanggung oleh negara bila akhirnya banyak ODHA yang akhirnya beralih ke Lini 2, mereka bisa mengeluarkan minimal $ 395 / th/ org, hampir 4 kali lipat harga obat Lini 1.

Dalam panduan pengobatan Antiretroviral 2011 yang dikeluarkan oleh KEMENKES, pemberian d4T sifatnya akan dilakukan bertahap (phase out) dan disarankan untuk mengganti dengan TDF (Tenovofir), namun saya heran “mengapa obat yang memiliki efek samping jangka panjang masih tetap diberikan? Apakah karena kita tinggal di negara berkembang maka lebih sulit mendapatkan TDF karena harganya yang lebih mahal dari d4T?”.

 

Pengalaman saya menggunakan TDF (lini 1), penggunaannya lebih mudah, karena obat ini hanya diminum 1 kali sehari atau per 24 jam dan berbeda dengan d4T yang penggunaannya harus 2 kali sehari atau per 12 jam. ODHA sering mengeluh dengan jenis (besar/kecil) maupun jumlah Pil yang mereka konsumsi, orang lebih cenderung patuh bila mengkonsumsi regimen yang sederhana sehingga diharapkan semakin kecil resiko menjadi resisten obat. Demikian pandangan saya terhadap pengobatan ini dari hasil ngobrol dengan – teman – teman yang menjalani / pernah terapi menggunakan d4T, semoga pemerintah mulai melihat pentingnya menstop d4T dan menggantinya menjadi TDF merupakan sebuah investasi dan akhirnya dapat menyelamatkan hidup ODHA.

 

Aries Van Java

@nunutngombe

Also Read

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.